Sesederhana Itu

April 24, 2018


Gila nih orang!

Berulangkali aku mengumpat dalam hati. Dia selalu punya jawaban atas segala tanyaku. Panjang-lebar ia memaparkan pendapat tajamnya yang perlahan-lahan mengikis benteng pertahananku. Rasanya aku ingin membungkam mulutnya agar tidak lagi menyampaikan isi pikirannya yang begitu liar dalam memikatku. 

Sesungguhnya, aku belum sepenuh hati menerima setiap kata yang ia lontarkan. Namun, sepenuh hati, aku ingin menjadikannya teman berdiskusi hingga waktu berhenti.

"Kamu tuh mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi," ucapnya.

"Udah bisa diprediksi, Mas,"

"Itu namanya kamu mendahului kehendak Tuhan,"

"Ya bukan gitu! Dipikir aja deh, gimana kita bisa nyatu kalau beda?"

Dia diam. Motornya terus melaju menembus dinginnya malam di Kota Solo. Aku yakin, diamnya bukan untuk mengakhiri perdebatan kami. Aku bisa melihat raut wajah yang masih menyimpan banyak kata melalui pantulan di spion motor.

"Kamu suka telor dadar apa telor ceplok?" Tanyanya tiba-tiba.

"Telor ceplok,"

"Kenapa?"

"Karena enak,"

"Apa yang bikin enak?"

"Bumbunya,"

"Nah! Kamu tahu kan kalau telor itu terdiri dari dua warna yang berbeda? Kuning sama putih. Tapi dua warna itu bisa disatukan dan menjadi sesuatu yang enak untuk dinikmati kalau bumbunya pas,"

"Hmm iya. Tapi kadang aku suka yang tanpa bumbu sih soalnya kadang bumbunya nggak rata," kataku mencoba lari dari arah pembicaraannya.

"Iya berarti tergantung bumbu, kan?" Tanyanya menegaskan. Sepertinya dia mulai kesal. "Kamu tahu maksudku, kan?" Tanyanya lagi.

"Tahu! Setiap perbedaan bisa disatukan dan akan menjadi indah jika kita tahu cara menyikapinya, begitu?"

"Iya,"

"Memangnya, perbedaan kita sesederhana dua warna itu, Mas?"

Tawanya memecah begitu mendengar pertanyaanku. Selepasnya ia hanya mengatakan, "pertanyaanmu sulit," Kemudian tangannya meraih tanganku. Dalam lirih dan sedikit ragu, dia masih berusaha meyakinkanku dengan kalimat, "jadikan perbedaan kita sesederhana itu,"

"Sesederhana itu?" Ulangku.

"Sesederhana itu," ucapnya lebih tegas.

Baiklah, Mas, mari hadapi perbedaan sesederhana itu. Kamu yang akan mengantarku ke masjid dalam setiap perjalanan panjang kita dan aku yang akan selalu membangunkanmu di Minggu pagi. Kita hanya dua anak manusia dengan cara berdoa yang berbeda, yang merasa perbedaan tak menjadi penghalang 'tuk berjalan beriringan, yang tak bisa menolak hati yang begitu saja saling mengasihi. Jika suatu hari dunia mengharuskan kita untuk berhenti, biarkan percakapan kita malam ini menjadi penanda bahwa kita pernah seberani itu untuk saling membersamai.




You Might Also Like

0 komentar

Terima Kasih Sudah Berkunjung!