Waktu kecil, aku sangat menyukai pelangi. Pertama kali
melihatnya, mataku langsung tidak mau beralih. Bibirku juga tidak berhenti
bertanya pada mama tentang darimana asalnya warna-warni di langit itu. Saat
itu, mama hanya menjawab dengan sederhana, “Pelangi munculnya kalau sehabis
hujan, ada matahari.” Dan ketika aku masih ingin menatap keindahannya,
warna-warni pelangi perlahan pudar lalu menghilang. Aku pun merengek karena
masih ingin menatapnya. Mama bilang, “besok bisa datang lagi,”
Esok harinya, aku kembali bertanya pada mama apakah
pelangi akan datang lagi sore ini. Mama hanya menjawab, “Mungkin,” Pertanyaan
itu terus kuulang setiap hari dan pelangi tetap tak kunjung datang meskipun
telah kutunggu berhari-hari. Lalu aku lupa, kapan aku bertemu lagi dengan
pelangi yang kunanti.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami bahwa
pelangi memang indah-yang-hadirnya-hanya-sesaat. Pelangi selalu membuatku
tersenyum namun senyumku tak pernah bisa menahannya untuk tidak tergesa pergi.
Dan pada akhirnya, aku tidak begitu suka dengan
pelangi. Setiap kali ada pelangi, aku hanya melihatnya sesaat lalu lebih dulu
mengalihkan pandangan karena aku tahu keindahan itu hanya sebentar. Lebih baik,
aku duluan yang meninggalkannya, begitu pikirku.
Pelangi tetap indah di mataku namun aku benci
dengan keindahan yang hanya mengantarku pada rasa kehilangan.
Dan, Mah, sekarang aku seringkali
berjumpa dengan pelangi.
Pelangi yang kutemui tidak pernah
memandang musim,
tidak terpengaruh oleh tetes hujan maupun cahaya mentari.
Tetapi, ketika pelangi itu datang,
aku kembali menjadi anak kecil; yang terus memandang
tidak terpengaruh oleh tetes hujan maupun cahaya mentari.
Tetapi, ketika pelangi itu datang,
aku kembali menjadi anak kecil; yang terus memandang
lalu menangis saat ia tiba-tiba
menghilang.

