Pelangi

Juli 12, 2018



Waktu kecil, aku sangat menyukai pelangi. Pertama kali melihatnya, mataku langsung tidak mau beralih. Bibirku juga tidak berhenti bertanya pada mama tentang darimana asalnya warna-warni di langit itu. Saat itu, mama hanya menjawab dengan sederhana, “Pelangi munculnya kalau sehabis hujan, ada matahari.” Dan ketika aku masih ingin menatap keindahannya, warna-warni pelangi perlahan pudar lalu menghilang. Aku pun merengek karena masih ingin menatapnya. Mama bilang, “besok bisa datang lagi,”

Esok harinya, aku kembali bertanya pada mama apakah pelangi akan datang lagi sore ini. Mama hanya menjawab, “Mungkin,” Pertanyaan itu terus kuulang setiap hari dan pelangi tetap tak kunjung datang meskipun telah kutunggu berhari-hari. Lalu aku lupa, kapan aku bertemu lagi dengan pelangi yang kunanti.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami bahwa pelangi memang indah-yang-hadirnya-hanya-sesaat. Pelangi selalu membuatku tersenyum namun senyumku tak pernah bisa menahannya untuk tidak tergesa pergi.

Dan pada akhirnya, aku tidak begitu suka dengan pelangi. Setiap kali ada pelangi, aku hanya melihatnya sesaat lalu lebih dulu mengalihkan pandangan karena aku tahu keindahan itu hanya sebentar. Lebih baik, aku duluan yang meninggalkannya, begitu pikirku.

Pelangi tetap indah di mataku namun aku benci dengan keindahan yang hanya mengantarku pada rasa kehilangan.

Dan, Mah, sekarang aku seringkali berjumpa dengan pelangi.
Pelangi yang kutemui tidak pernah memandang musim,
tidak terpengaruh oleh tetes hujan maupun cahaya mentari.
Tetapi, ketika pelangi itu datang,
aku kembali menjadi anak kecil; yang terus memandang
lalu menangis saat ia tiba-tiba menghilang.

You Might Also Like

0 komentar

Terima Kasih Sudah Berkunjung!